MASAPNEWS – Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Riza Annisa Pujarama menyatakan bahwa pemerintahan mendatang perlu memperhatikan pembiayaan investasi pada BUMN karya agar tidak membebani APBN 2025.
Pemerintah menetapkan pembiayaan investasi dalam RAPBN 2025 sebesar Rp154,5 triliun, dengan Rp59,5 triliun dialokasikan untuk investasi pada BUMN dan Badan Layanan Umum (BLU) pada bidang infrastruktur, kesehatan, pertahanan, pendidikan, kerja sama internasional, serta bidang lainnya sesuai prioritas pemerintah.
“Pada RAPBN 2025 pembiayaan investasi juga tinggi, terutama pada BUMN karya yang mendapat penugasan. Hal ini juga perlu diperhatikan karena BUMN karya ini juga mengalami berbagai kendala dan permasalahan dari aspek keuangan,” ujar Riza Annisa Pujarama dalam webminar yang diikuti dari Jakarta, Minggu.
Dengan adanya permasalahan tersebut, ia pun meminta pemerintahan selanjutnya untuk memperhatikan kondisi keuangan BUMN karya, terutama kemampuan perusahaan milik negara tersebut dalam membayar utang.
Hal ini, lanjutnya, dikarenakan APBN akan kembali menjadi bumper finansial jika badan usaha tersebut tidak dapat membayar kewajiban mereka.
“Kita masih bergantung pada utang itu untuk menutup utang juga. Pembiayaan utang juga mengalami peningkatan gitu ya, dan ini juga mempengaruhi di RAPBN 2025,” kata Riza.
Ia menuturkan bahwa utang jatuh tempo yang perlu dibayar oleh pemerintahan mendatang menurut RAPBN 2025 adalah Rp775,9 triliun.
Angka tersebut lebih tinggi daripada yang ditetapkan dalam APBN 2024 sebesar Rp648,1 triliun maupun outlook pembiayaan 2024 sebesar Rp553,1 triliun.
Namun, ia mengatakan bahwa besaran utang yang perlu dibayarkan tahun depan tersebut belum termasuk bunga utang yang diperkirakan mencapai Rp552,85 triliun.
Dengan meningkatnya pembayaran utang tersebut, Riza menyatakan bahwa perkiraan angka defisit pun naik dari Rp522,8 triliun pada APBN 2024 menjadi Rp616,2 triliun pada RAPBN 2025.
Selain defisit yang naik, ia menyampaikan bahwa risiko lainnya adalah imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun yang turut meningkat.
Yield obligasi pemerintah Indonesia adalah yang paling tinggi di antara negara-negara Asia Tenggara, yakni 6,7 persen.
“Jadi ini yang memberatkan di masa depan untuk penarikan utang lebih banyak dan ini perlu upaya untuk bisa menurunkan yield obligasi SBN pemerintah,” imbuhnya. (ANT/MN-2)